Di
kompasiana tampilan terbaru, delapan postingan saya dimasukkan ke ruang
“Gosip”, sub-domain kolom “Hiburan”. Saya tidak akan komplain, biarlah
daripada capai membahasnya lebih baik saya tambahi sekalian rubrik
tersebut dengan menulis postingan ini. Toh, kita memang suka berita
seputar artis, meski kadang tidak rela dibilang penikmat gosip yang
belakangan diperhalus bahasanya menjadi infotainment.
Oke,
sebelumnya saya ucapkan “selamat menempuh hidup baru” untuk Mbak Dian
Sastrowardoyo yang baru saja melangsungkan pernikahan dengan Mas Maulana
Indraguna Sutowo. Bicara tentang Dian Sastro, semua pasti sudah tahu
sosoknya, apalagi sejak kemunculannya di layar lebar dalam film
fenomenal Ada Apa Dengan Cinta (AADC) tahun 2002 silam. Namun, siapa
yang mengenal suaminya, Indraguna Sutowo saya rasa sangat sedikit yang
mengetahuinya. Saya sendiri baru mencari sosoknya malam tadi melalui
bantuan Mbah Google.
Melihat
nama belakang suami Dian, tentu kita diingatkan akan sosok Raja Minyak
Indonesia era Soeharto dulu. Siapa lagi kalau bukan Ibnu Sutowo, mantan
Dirut Pertamina yang pernah mendapat durian runtuh saat bom minyak
dekade 70-an. Pada masanya, kekayaannya bisa disejajarkan dengan
penguasa bisnis Indonesia saat ini, siapa lagi kalau bukan Aburizal
Bakrie. Kebetulan, Ical baru saja mendapat mantu yang juga seorang artis
ternama negeri ini, Nia Ramadhani. Meski kualitas kedua mantu tersebut
tidak bisa disejajarkan.
Sungguh, suatu kebetulan yang sangat mirip.
Jika dulu saya pernah mengulas profil Aburizal Bakrie dan sepak terjangnya pada tulisan Review Posisi Kekayaan Bakrie 2007-2009 dan Ramalan 2010,
barangkali kini perlu juga saya ketengahkan profil keluarga Sutowo,
yang tak lain adalah keluarga mertua Dian Sastro. Siapa tahu kita bisa
makin dekat dengan keluarga tersebut, sukur-sukur ikut kecipratan rezeki
mereka. Meski tak berharap.
Ibnu Sutowo, Konglomerat Besar Sebelum Era Bakrie
Ibnu Sutowo lahir di Yogyakarta, 23 September 1914 dan meninggal di Jakarta, 12 Januari 2001 (86 tahun). Dia adalah mantan tokoh militer Indonesia yang ikut mengembangkan Permina, perusahaan minyak negara sebelum berubah nama menjadi Pertamina. Ibnu juga pernah menjadi Menteri ESDM di penghujung rezim Soekarno (28 Maret 1966 s.d. 25 Juli 1966).
Selepas pendidikan kedokteran di Surabaya, pada 1940
Ibnu Sutowo bekerja sebagai dokter di Palembang dan Martapura. Setelah
masa kemerdekaan, ia sempat bertugas sebagai Kepala Jawatan Kesehatan
Tentara se-Sumatera Selatan (1946-1947). Pada tahun 1955, Sutowo ditunjuk sebagai Panglima TT-II Sriwijaya.
Di tahun 1957, A.H. Nasution (saat itu KSAD) menunjuk Sutowo untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara (PT Permina). Tahun 1968, perusahaan ini digabung dengan perusahaan minyak milik negara lainnya menjadi PT Pertamina.
Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis yang terbit tanggal 30 Januari
1970 memberitakan total simpanan kekayaan Ibnu Sutowo mencapai Rp 90,48
milyar (kurs rupiah saat itu Rp 400/US Dollar). Jika kini US $ 1 = Rp
9.200,- secara hitungan bodoh, nilai tersebut setara dengan Rp 2,08
triliun.
Harian
itu juga melaporkan adanya indikasi kerugian negara akibat kongkalikong
Sutowo dan pihak Jepang mencapai US $ 1.554.590,28. Saat itu,
pemerintah Indonesia di bawah Presiden Suharto membentuk tim yang bernama Komisi Empat
untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina. Tim ini menghasilkan
laporan yang menyimpulkan terjadinya beberapa penyimpangan-penyimpangan,
sayang tidak ada tindakan hukum apa pun terhadap pelakunya.
Pada
tahun 1975, Pertamina jatuh krisis setelah sebelumnya mendapat
keuntungan luar biasa dari bom minyak. Setahun kemudian, Sutowo
diberhentikan sebagai Dirut Pertamina, dan meninggalkan utang perusahaan
sebesar US $ 10,5 milyar. Di samping utang, dia juga meninggalkan “kota
dalam kota” berupa Komplek Pertamina yang terdiri dari rumah sakit,
mess pegawai, sekolah, dan fasilitas penunjang lainnya.
Selain itu, menurut Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) yang diperiksa terkait penipuan oleh PT Indobuild Co.
pada 2005 lalu mengaku pernah ditipu oleh Ibnu Sutowo. Saat dia
menjabat Dirut Pertamina, Ali diminta membangun hotel Pertamina di
Senayan dengan hak guna bangunan
selama 30 tahun. Belakangan, ternyata hotel tersebut dimiliki oleh
perusahaan pribadi Ibnu Sutowo dengan nama Hotel Hilton. Kini, hotel
tersebut telah berganti nama menjadi Sultan Hotel
dan kepemilikan atas nama Pontjo Sutowo, kakak Adiguno Sutowo sekaligus
anak kandung Ibnu Sutowo. Perpanjangan HGB dilanjutkan setelah HGB lama
berakhir 2002.
Sumber : id.wikipedia.org
Adiguna Sutowo (Mertua Dian Sastro), Penerus Ibnu Sutowo
Kisaran
awal 2005 silam, publik Indonesia dikejutkan oleh peristiwa yang cukup
menyita perhatian. Menjadi berita besar karena pelakunya diduga anak
dari tokoh besar Orde Baru. Hari Minggu (2/1/2005) pukul 15.55 WIB
pelaku digelandang masuk tahanan.
Adiguna
Sutowo yang diduga sebagai pelaku tunggal penembakan pelayan bar Fluid
Club Hotel Hilton, Yohanes Brachmans Haerudy Natong, dimasukan ke ruang
tahanan Polda Metro Jaya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Adiguna
mengenakan kaos warna abu-abu dan celana training. Mukanya tampak lusuh
dan tertunduk lesu. Dia digelandang setelah menjalani pemeriksaan yang
dilakukan oleh Satuan Jatantras Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda
Metro Jaya secara maraton. Dia diperiksa sejak Sabtu (1/1/2005) malam. Lihat.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang baru menjabat beberapa bulan merasa
prihatin dengan peristiwa pada pergantian tahun itu. Ia
menginstruksikan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus ini secara
tegas dan transparan. Hal itu dikatakan SBY kepada wartawan dalam jumpa
pers di rumahnya, di Cikeas, Bogor, Minggu (2/1/2005) malam. Tampak
hadir Menko Polhukam Widodo AS, Menlu Hassan Wirajuda dan Menkeu Yusuf
Anwar. “Pemerintah dalam hal ini Kapolri diminta untuk melaksanakan
proses hukum terhadap pelaku penembakan di Hotel Hilton. Lakukan proses
hukum yang benar dan tepat, lalu tunjukkan dengan akuntabilitas yang
tinggi,” kata SBY. Lihat.
Siapa Adiguna itu?
Dibanding
Pontjo Sutowo, kakaknya, nama Adiguna masih kalah pamor. Bahkan selama
ini Adiguna lebih dikenal sebagai pereli nasional. Anaknya, (alm) Adri
Sutowo pun menitis darah ini. Nama Adiguna memang tak bisa lepas dari
Ibnu Sutowo, eks Dirut PT Pertamina dan pensiunan jenderal bintang tiga
era Soeharto.
Dari
perkawinannya dengan Zaleha binti Syafe’ie, yang dinikahinya pada 12
September 1943, Ibnu mendapatkan 7 anak. Mereka adalah Nuraini Zaitun
Kamarukmi Luntungan, Endang Utari Mokodompit, Widarti, Pontjo Nugroho Susilo, Sri Hartati Wahyuningsih, Handara, dan Adiguna.
Seperti
saudara-saudaranya yang lain, si bungsu Adiguna pun berkecimpung dalam
bisnis. Dia tercatat sebagai bos perusahaan farmasi PT Suntri Sepuri.
Perusahaan yang didirikan pada 1998 ini memproduksi tablet, kapsul,
sirup dan suspensi, sirup kering/serbuk injeksi beta laktam.
Membicarakan bisnis Adiguna, mau tak mau harus membicarakan bisnis
keluarga Ibnu Sutowo. Pasalnya, bisnis Adiguna dibangun bersama-sama
dengan anggota keluarganya yang lain.
Keluarga
Ibnu Sutowo ketika Orba masih berkuasa, mempunyai sedikitnya 20
perusahaan. Ini termasuk PT Adiguna Shipyard (galangan kapal, pengadaan fiberglass kapal) dan PT Adiguna Mesin Tani (agicultural). Keluarga ini juga pemilik PT Indobuild Co
(real estate, hotel) yang menguasai hak pengelolaan lahan di seputar
Senayan - lokasi hotel, apartemen dan convention center. Keluarga Ibnu
Sutowo lebih dikenal lewat konglomerasi Grup Nugra Santana (bursa saham,
pemasaran, manajemen properti, investasi bangunan). Jika dikaitkan
dengan masa sekarang, ingatan kita akan tertuju pada Bakrie Grup yang
menguasai lantai bursa, dan juga Kalla Grup milik mantan wakil presiden.
Keduanya sama-sama pentolan partai Golkar.
Di
bawah grup inilah keluarga Sutowo menguasai penjualan dan pemasaran
operasional 5 hotel kelas atas: Jakarta Hilton International Hotel,
Lagoon Tower Jakarta Hilton International, The Hilton Residence, Patra
Surabaya Hilton International dan Bali Hilton International.
Ekspansi
besar-besaran dimotori Pontjo Sutowo. Tapi pada 1997, kibaran bisnis
keluarga Sutowo melorot. Majalah Swa edisi November 2004 lalu menulis,
tragedi Bank Pacific yang dimotori Endang Utari Mokodompit -kakak
Adiguna- menyusul bank tersebut dilikuidasi Pemerintah, November 1997,
diduga menjadi pemicu memudarnya pamor Grup Nugra Santana. Meski
demikian, sebagian sahamnya masih bercokol di Hilton, branding yang akan
tetap dipakainya selama 20 tahun sesuai kontrak sejak 1996 silam.
Majalah
Swa lewat laporannya bertajuk “Menumpuk Utang di Bank, Terbelit Bisnis
Sendiri” menulis bahwa bisnis Grup Nusa Santana tak lagi prospektif.
Pengamat ekonomi Wilson Nababan menilai, berbagai proyek properti
khususnya hotel yang dibangun Grup Nugra Santana menjadi kartu mati yang
sulit dikembangkan lagi. Bisnis kelompok ini di bidang perkapalan
seperti Adiguna Shipyard juga mengalami penurunan yang sangat tajam.
Untuk
kasus seperti ini, kiranya keluarga Sutowo perlu belajar dari Keluarga
Bakrie yang tetap eksis meski badai 2008 menerjang kerajaan bisnisnya.
Tentu dengan menggandeng penguasa saat itu, Presiden SBY dan Wapres
Jusuf Kalla, meski sempat ditentang Menkeu Sri Mulyani yang mengancam
mundur dari kabinet SBY.
Adiguna juga merajai media. Pada tahun 1992, Adiguna bersama Soetikno Soedardjo dan Onky Soemarno mendirikan Hard Rock Cafe.
Joint venture ini membuahkan group usaha yang dikenal sebagai MRA
Group. MRA ini kemudian berkembang pesat dan saat ini memiliki beberapa
divisi yang menaungi beberapa unit usaha seperti Zoom Bar & Lounge,
BC Bar, Cafe 21, Radio Hard Rock FM (Jakarta, Bandung, Bali), i-Radio,
MTV radio, Majalah Kosmo, Majalah FHM , Omni Chanel (TV), dan IP
Entertaiment.
Di
samping itu Adiguna juga merupakan pemilik Four Seasons Hotel dan Four
Seasons Apartement di Bali. Belakangan, Adiguna baru saja membeli
Reagent Hotel di Jakarta (yang sekarang berganti nama Four Seasons
Hotel). Dia juga memegang dealership Ferrari dan Maserati,
Mercedes Benz, Harley Davidson, Ducati, B&0, dan Bulgari. Menurut
catatan George Aditjondro, Adiguna sempat memiliki hubungan bisnis
dengan Tommy Soeharto di masa jayanya. Keduanya
mendirikan PT Mahasarana Buana (Mabua) pada tanggal 5 September 1985.
Perusahaan yang beroperasi di Batam ini berdagang dinamit untuk
keperluan industri.
Adiguna
yang juga anggota Persatuan Menembak dan Berburu Seluruh Indonesia
(Perbakin) ini dikenal cukup dekat juga dengan kerajaan bisnis
Sudwikatmono. Seperti sohibnya, Tommy Soeharto, Adiguna juga pernah
mencicipi sempitnya hotel prodeo di sel Polda Metro Jaya. Keduanya
dituduh melakukan kejahatan yang nyaris persis: menembakkan timah panas hingga sang korban tewas.
Sumber : detiknews.com 3 Januari 2005
Nasib Dian Sastro Pasca Menikahi Keluarga Sutowo
Berita
menikahnya Dian Sastro kemarin (18/5/2010) cukup membuat kalangan kaum
Adam banyak yang “patah hati”, terutama mantan-mantan kekasih Dian
sendiri tentunya. Status di jejaring sosial semacam facebook dan twitter seolah menjadi bukti, meski banyak yang sedikit malu-malu. Kemarin, status facebook
teman-teman saya pun dijejali berita menikahnya Dian Sastro dan
meninggalnya Mama Laurent. Baru malam tadi status berganti menjadi
seputar berita gempa bumi di Sukabumi, Jawa Barat. Tidak ada hubungannya
barangkali, kalau saya hubungkan tentu akan melahirkan bahan tertawaan
kembali.
Memang,
Dian Sastro memiliki daya tarik lebih dibanding kalangan selebritis
lainnya. Selain modal wajah yang rupawan dan meng-indonesia banget,
kemampuan intelektualnya juga tidak diragukan lagi. Dian juga tergolong
artis berkelas, sangat selektif memilih peran, sepertinya anti-sinetron
dan lebih memilih menjadi bintang iklan. Dagangan yang diiklankan pun
laris manis di pasaran.
Barangkali
hal-hal itulah yang membedakan Dian dengan artis-artis wanita lainnya.
Sosoknya mungkin cukup menjadi idaman kaum pria.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Dian Sastro adalah alumnus Jurusan Filsafat Universitas Indonesia.
Enam
tahun dilewatinya sebagai mahasiswi. Akhirnya, aktris peraih Piala
Citra itu lulus juga. Prestasinya pun cukup membanggakan untuk ukuran
seorang artis yang sibuknya bukan main.
“Nilaiku 8,57 (A) dari skripsi yang berjudul Beauty Industrial Complex.
Puas banget sih karena ini adalah penantian yang cukup lama. Aku
bersyukur dengan banyaknya waktu yang dimiliki sehingga mendapatkan
hasil maksimal. Bukan ngerjain biar cepet lulus, dapet IP yang kurang bagus. Meski 6 tahun IPK-nya 3,2,” kata Dian.
Bahkan,
Dian sempat ditawari dosen pembimbingnya untuk menjadi asisten dosen
(asdos) pada salah satu mata kuliah. Selain itu, skripsinya sedang
disiapkan menjadi sebuah buku dimana Dian bekerjasama dengan wartawan
senior Leila S. Chudori sebagai penyunting dan co-writer. Skripsi
tersebut menempatkan industri kecantikan dan isu persamaan jender dalam
kacamata filsafat, dimana perempuan berlaku sebagai subyek dan obyek. Lihat.
Berbicara
tentang materi dalam skripsinya, bolehlah kita bertanya kepada Dian
tentang “ideologi kecantikan”. Berbekal kecantikan dan ketenarannya,
mungkinkah pernikahannya akan langgeng hingga akhir hayat mereka berdua,
menepis anggapan miring masyarakat bahwa pernikahan artis hanyalah
“paparan kekayaan dan pembuktian strata sosial” dan tidak berlangsung
lama.
Jika biasanya kaum bigos
(biang gosip) infotainment menanyakan ke Mama Laurent, sepeninggalnya
kepada siapa lagi mereka akan bertanya? Saya rasa, hanya waktu yang
mampu menjawabnya.
Kembali
ke keluarga Sutowo tadi, jika melihat kadar intelektualitas dan kelas
keartisannya, rasa-rasanya mereka memang lebih pintar mencari mantu
dibanding konglomerat satunya yang baru saja digandeng dan digendong
Pak Beye. Mudah-mudahan pengusaha-pengusaha bekas ‘penguasa’ dan sedang
‘menguasai’ jagat politik negeri ini tersebut tidak salah memilih mantu.
Semoga nantinya menjadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah (samara) sehingga berguna bagi bangsa dan negaranya. Amien…..
Saking ngefansnya, dalam status facebook seorang sahabat saya, dia berencana akan menggelar diskusi dengan tema, “Indonesia Pasca Menikahnya Dian Sastrowardoyo”. Terbuka untuk umum katanya, meski judulnya untuk kalangan terbatas. Barangkali dia terinspirasi tajuk harian Kompas tentang “Ekonomi Indonesia Pasca Sri Mulyani” beberapa waktu lalu.
Meski
ini postingan gosip, mudah-mudahan masih ada “sesuatu” di baliknya.
Suatu indikasi bahwa kekuasaan dan perusahaan masih membentuk lingkaran
setan di negeri ini, dan dunia barangkali, seperti dua sisi keping mata
uang. Karena ada larangan menggosip di tempat umum, kita menggosip di
rumah ini saja. Salam damai, selamat pagi!